Benarkah Pekerja Perempuan Kondisinya Seperti Yang Dicitrakan PT. IMIP?

--

Baru-baru ini manajemen PT. IMIP mengeluarkan sebuah rilis di website mereka. Hal ini juga dimuat oleh beberapa media online seperti liputan6.com, media alkhairaat.id, kabarselebes.co.id, dan berita.id.

Rilis tersebut berisi tentang kondisi pekerja perempuan di kawasan yang seolah baik-baik saja, tanpa masalah. Kami telah mencatat beberapa poin krusial, sekaligus kritik dalam rilis tersebut yang kami anggap bermasalah.

Berikut catatan-catatan sekaligus kritik kami.

Tentang Cuti Hamil/Melahirkan dan Cuti Haid

Pertama, dikatakan oleh Dedy Irawan selaku Media Relations Head PT IMIP bahwa di perusahaan konon 5 bulan cuti. 3 bulan untuk cuti melahirkan/hamil dan 2 bulan tambahan istirahat.

Disini perlu kami terangkan, bahwa cuti 2 bulan tambahan terakhir itu sebetulnya bukan cuti. Tapi merupakan Izin Tanpa Dibayar (ITD), yang sifatnya izin biasa saja.

Karena sifatnya izin biasa, itu artinya izin tersebut tanpa dibayarkan upah selama waktu 2 bulan bagi perempuan pekerja yang hamil/melahirkan.

ITD bisa berlaku untuk perempuan juga laki-laki, serta maksimal diberikan hanya 2 bulan. Namun tidak jarang atasan memberikan ITD kurang dari 2 bulan, ada yang hanya dikasi 14 hari saja dan bahkan ada yang tidak diberikan sama sekali.

Itu artinya “cuti” 2 bulan tambahan yang dimaksud oleh Dedy Kurniawan tersebut bukanlah cuti sebagaimana makna cuti yang seharusnya.

Selain itu cuti 5 bulan tetap saja tidak cukup. Sebab pemberian ASI eksklusif pada bayi harusnya sampai 6 bulan, dan oleh karenanya cuti melahirkan harusnya sebanyak 6 bulan pula.

Tidak jarang para pekerja perempuan di kawasan memilih resign gara-gara harus merawat anak-anak mereka. Sebab, kawasan PT. IMIP masih belum menyediakan tempat penitipan anak dan juga pojok laktasi bagi perempuan yang menyusui bayinya.

Transportasi bagi perempuan hamil juga tidak disedikan khusus bagi perempuan hamil. Intinya, PT. IMIP belum ramah sama sekali terhadap perempuan dan anak-anak.

Dalam rilis PT. IMIP disebut seolah cuti haid “mudah”, Padahal prosesnya bertele-tele. Harus mengajukan pembuatan Surat Keterangan Sakit (SKS) terlebih dahulu. Prosedurnya ke admin terlebih dahulu lalu ke HRD untuk menunggu disposisi. Bagaimana kalau HRDnya tidak ada? Maka sial-lah nasib perempuan pekerja yang bersangkutan.

Harusnya, cuti haid bisa disamakan prosedurnya dengan izin emergency sesuai UU. Supaya tidak ribet. Masak orang haid yang mood-nya tidak stabil, sering sakit perut, dsb., harus pergi kesana kemari mengurus dulu persoalan admistratif.

Juga, persyaratan mengenai SKS itu patut dihilangkan, karena memakan waktu bagi pekerja perempuan.

Tentang Masifnya Pelecehan Seksual Di Kawasan

Kedua, HR Head PT IMIP Achmanto Mendatu mengatakan, konon telah memastikan upaya mengedepankan langkah preventif, semisal dengan penyuluhan atau kampanye.

Faktanya, kampanye-kampanye hanya dilakukan di pintu-pintu masuk awal saja oleh manajemen. Tidak jarang saat di area kerja banyak pekerja perempuan yang dilecehkan oleh atasan, bahkan ada semacam bujukan terkait lanjut/tidaknya kontrak kerja — dengan syarat mengikuti mau atasan.

Di halte-halte, tempat orang istirahat atau menunggu jemputan tidak jarang pula banyak perempuan dilecehkan. Biasanya mereka mendapatkan prilaku cat calling — melalui siulan atau dipanggil-panggil.

Tak hanya itu. Di lokasi mess pekerja, saat melakukan pembersihan, para pekerja perempuan dilecehkan oleh atasan dengan cara dipegang-pegang atau pura-pura senggol payudara dan pantatnya — sembari dipanggil dengan kata-kata tak senonoh.

Itukah yang dimaksud dengan “lingkungan kerja yang positif”, sebagaimana yang tertulis dalam rilisan PT. IMIP? Hanya cicak di dinding tempat kerja yang tahu.

Adapun tindakan membuat grup Whatsapp bagi pekerja perempuan, untuk “pengaduan” pelecehan seksual oleh manajemen juga sama sekali tak efektif. Tidak ada edukasi bagi pekerja perempuan sama sekali jika hanya melalui forum online semacam itu, sebab tidak ada pembinaan seperti apa pelecehan seksual itu, bentuk-bentuknya, dan sebagainya.

Padahal pada April lalu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sudah mengeluarkan aturan mengenai pembentukan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3). RP3 merupakan salah satu regulasi dalam pencegahan kekerasan terhadap pekerja perempuan.

Semestinya manajemen PT. IMIP bisa membuat rumah perlindungan tersebut, dengan memasang orang-orang yang kompeten dalam hal penanganan pelecehan seksual di tempat kerja.

Poster-poster juga sangat minim dalam kawasan. Sehingga, hanya jadi sekadar pajangan belaka. Harusnya bisa lebih banyak lagi posternya di tiap sudut dimana lokasi rentan pelecehan dilakukan. Manajemen PT. IMIP mesti melakukan investigasi dimana saja lokasi rentan tersebut.

Selain itu proses sosialisasi yang dimaksud oleh HR Head PT IMIP Achmanto Mendatu, tidak dilakukan di devisi/departemen induksi. Harusnya sedari awal masuk kerja, manajemen telah membina para karyawan(i)-nya terkait pelecehan seksual ini sedari dini.

Afdal Amien, selaku ketua umum Serikat Pekerja Industri Morowali (SPIM) mengatakan, bahwa rilis PT. IMIP itu adalah upaya pembenaran atas kondisi yang parah.

“Rilis IMIP itu merupakan upaya pembenaran dari kondisi sebenarnya. Apa yang mereka gambarkan itu sangat kontradiktif dengan yang terjadi di lapangan.

Seharusnya IMIP harus menerima kritikan SPIM atas kondisi buruh perempuan, dan lebih siap untuk memperbaiki kondisi yang ada. Bukan malah membangun narasi seolah-olah pekerja perempuan kondisinya baik dan sejahtera.”

--

--

Serikat Pekerja Industri Morowali
Serikat Pekerja Industri Morowali

Written by Serikat Pekerja Industri Morowali

Serikat Pekerja Industri Morowali merupakan serikat pekerja yang berada di kawasan IMIP untuk memperjuangkan upah layak, K3 yang layak, dan lain-lain.

No responses yet