Bahodopi — Nasibmu Kini

--

(Desain: SPIM)

Belasan tahun lalu, Bahodopi merupakan daerah yang begitu terisolir tanpa listrik dan juga sinyal HP. “Jangan berharap bisa menonton televisi di sini. Ibaratnya, kawasan itu merupakan hutan belantara. Sepi dan gelap.” Begitu tulis sebuah artikel di Kompas pada 25 Januari 2024 lalu.[1]

Artikel yang berjudul ‘Revolusi Nikel di Bahodopi, Morowali' itu menyebutkan apa yang terjadi di Bahodopi merupakan peningkatan pertumbuhan ekonomi — dengan berkurangnya penduduk miskin — yang konon “meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia”, dengan menggunakan data-data BPS.

Kami, Serikat Pekerja Industri Morowali sama sekali tak menampik data-data BPS yang disodorkan oleh para penulis artikel tersebut. Yang kami persoalkan data terkait kemiskinan yang konon “berkurang” di Bahodopi.

Apakah benar demikian adanya? Tidak.

Di Bahodopi tingkat kemiskinan justru merajalela. Mengapa? Pertama, daerah ini merupakan lokus PT. IMIP berdiri. Kedua, karena ia menjadi lokus kawasan IMIP, sudah jelas ia memberi sumbangsih kemiskinan di Kab. Morowali yang pada tahun 2022 berada di angka 12,58%.[2]

Artinya adanya pendapatan daerah dari industri, tidak lantas membuat rakyat menikmati hasilnya.

Jika merujuk pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang menjadi tolak ukur dengan indikator 1) umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan 2) hidup layak — apa yang terjadi sesungguhnya di Bahodopi— merupakan sebuah kebalikannya: Bahodopi justru menjadi makin miskin rakyatnya secara sistematis.

Sekarang, mari kita periksa beberapa indikator tersebut.

Indikator sehat bagi rakyat Kec. Bahodopi apa ukurannya? Di Desa Fatufia, hampir seluruh rakyat mengeluhkan dampak dari debu batu bara, yakni penyakit ISPA (gangguan pernapasan). Batu bara itu juga yang membuat atap rumah mereka harus diganti tiap 2 tahun sekali.[3]

Klinik di IMIP seharusnya sudah bertambah berlusin-lusin kalau ingin buruhnya sehat-sehat. Tapi, sampai sekarang klinik di IMIP hanya ada dua, yang hanya mampu menampung ratusan orang per harinya, di tengah puluhan ribu buruh yang ada di IMIP.

Kalau rakyat Bahodopi sehat, seharusnya jalan raya Bahodopi tidak banyak sampah berserakan, dan digenangi “kolam-kolam” yang tidak jarang membuat para pengendara celaka.

Hidup Layak? Semua rakyat Bahodopi tahu kalau harga kebutuhan pokok di Bahodopi sangat mahal. Kami sendiri melalui aliansi ASPIRASI pernah melakukan riset pada tahun 2023 mengenai Kebutuhan Hidup Layak (KHL), dan hasilnya tidak memuaskan.

Kalau di Bahodopi hidup layak sudah terpenuhi, kaum buruh di IMIP tidak akan mengeluhkan soal Upah Pokok yang hanya berada di angka 3,2 juta rata-ratanya per perusahaan. Imbasnya, kami mau tak mau harus mengikuti logika lembur perusahaan yang bisa merusak kesehatan kami itu.

Jika hidup sudah layak di Bahodopi, kami, Serikat Pekerja Industri Morowali (SPIM), tidak akan menolak kenaikan upah receh Rp 75 ribu. Bagi kami itu penghinaan oleh perusahaan.

Kini kecamatan di Kabupaten Morowali ini begitu dibanggakan berlebihan. Baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, gara-gara daerah ini punya nikel. Saking kelewat bangganya, mereka tak pernah memerintahkan perusahaan yang bernama PT. IMIP untuk membangun jalannya sendiri. Pemerintah kita sama sekali tak punya kedaulatan atas wilayahnya.

Benar bahwa di Bahodopi sudah tidak mati lampu lagi. Benar bahwa di Bahodopi sudah ada sinyal HP. Benar bahwa terjadi serapan tenaga kerja besar-besaran. Namun, sekali lagi, apakah kemiskinan menurun? Hanya genangan air di jalan Bahodopi yang bisa menjawabnya.

--

--

Serikat Pekerja Industri Morowali
Serikat Pekerja Industri Morowali

Written by Serikat Pekerja Industri Morowali

Serikat Pekerja Industri Morowali merupakan serikat pekerja yang berada di kawasan IMIP untuk memperjuangkan upah layak, K3 yang layak, dan lain-lain.

No responses yet